Maya mengambil sebuah foto kusam yang terselip di jurnal lamanya. Sebuah foto berdua bersama Omar, sang mantan suami. Maya ingat betapa bahagia dia hari itu, menikmati musim gugur di Tuscany, menyusuri jalan-jalan tua peninggalan Romawi, dan berhenti untuk menikmati anggur dari perkebunan lokal. Dia ingat betapa dia hampir saja tertinggal pesawat saat itu. Keputusannya untuk turun dari taksi dan menumpang ojek memberinya waktu yang cukup untuk tiba di bandara sebelum check-in ditutup. Di pesawat dia duduk di sebelah Omar, seorang vlogger yang keliling dunia mencari dan mengulas kopi-kopi terbaik. Omar juga yang memperkenalkan Maya pada Pietro, lelaki tua pemilik sebuah kafe kecil di San Gimignano. Selama di Italia, Maya memutuskan untuk menemani Omar berjalan-jalan membuat video-videonya. Di negeri itu dia jatuh cinta. Mereka menghabiskan dua pekan bersama. Mereka beberapa kali menghabiskan waktu di kafe milik Pietro, yang sudah dikenal Omar selama bertahun-tahun. Lama-kelamaan Maya pun menjadi sahabat dekat Pietro. Di akhir liburan, lelaki tua itu mengajak Omar dan Maya makan malam bersama keluarga besarnya. Tidak ada makan malam yang lebih meriah dibanding makan malam keluarga Italia.
Selepas liburan, Maya dan Omar menjalin hubungan jarak jauh untuk beberapa tahun. Omar mengatur agar jadwalnya ke negara-negara di kawasan bersamaan dengan jadwal liburan Maya, sehingga mereka dapat menghabiskan waktu berdua. Dan di sebuah senja di gerbang Angkor Wat, Omar melamar Maya. Walau saat ini Maya mengingat hari itu dengan sedikit kegetiran, dia tak dapat memungkiri bahwa senja itu adalah salah satu momen paling bahagia dalam hidupnya. Tapi kebahagiaan tersebut tak berumur lama. Jadwal pekerjaan Omar yang tak bisa ditebak dan yang selalu menuntutnya bepergian, membuat perkawinan Omar dan Maya goyah. Perselisihan-perselisihan kecil perlahan mengendap, hingga akhirnya meledak terpicu perbedaan yang tak terselesaikan. Mereka berdua sepakat untuk berpisah. Tapi mereka tetap berteman dengan Pietro di San Gimignano. Lelaki tua itu selalu jadi penengah di saat mereka berdua mencari tempat berkeluh kesah. Dan saat Pietro menyetujui ide Omar untuk mempatenkan kopi racikannya, Omar pula yang menyarankan agar Pietro bekerja sama dengan Maya untuk membuka cabang di luar negeri.
Sore ini Maya sedang berada di bakerinya. Setelah menabung bertahun-tahun dan mendapat dukungan dari Pietro serta Omar, akhirnya Maya memberanikan diri untuk mundur dari pekerjaannya. Ia membeli sebuah ruko kecil tak jauh dari kantor lamanya. Lantai dasar digunakan untuk bakeri, lantai atas sebagai tempat tinggal. Sebelum fajar merekah, Maya telah bekerja. Mempersiapkan adonan roti, biji-biji kopi kiriman Pietro, dan merapikan ruangan. Dia jalani setiap pagi dengan rasa bangga dan bahagia, karena impiannya telah terwujud. Untuk saat ini tidak ada lelaki lain di hatinya. Maya hanya ingin fokus pada perwujudan mimpi yang dia cita-citakan sejak lama. Apalagi Bruno dan Milky, anjing dan kucing kesayangannya selalu menemani dan menghibur kiranya dia kesepian. Tapi Maya tak pernah kesepian. Dia selalu menikmati bercengkerama setiap sore dengan patron-patron bakerinya. Dia selalu senang menyapa, entah orang-orang yang sekadar mampir untuk membeli roti dibawa pulang, atau orang-orang yang duduk sejenak menikmati roti buatannya. Ditemani secangkir kopi racikan Tuscany. Maya merasa bahwa dia menjalani hidup yang selama ini selalu diimpikan. Inilah takdirku, gumam Maya sambil tersenyum.