Maya masih dapat mengingat hari saat ia bertemu Alan suaminya. Dia sedang terduduk lesu di ruang tunggu bandara, merutuk nasib. Terlambat limabelas menit dan bagian check-in telah ditutup. Seorang petugas bandara memberi tahu Maya kalau dia dapat mencoba maskapai lain yang juga melayani penerbangan ke Italia. Tapi sore itu semua kantor maskapai telah tutup dan dia harus menunggu satu malam. Maya memutuskan untuk menunggu di bandara. Ya, rencana sempurna yang dia susun telah gagal, tapi Maya tidak akan membiarkan masalah ini merusak seluruh liburan. Di saat itulah Alan tiba-tiba menghampiri. Maya mengagumi keberanian Alan, laki-laki asing yang begitu saja datang dan menawarkan segelas kopi. Dan ya, kalau kau bertanya pada Maya, dia tidak akan jujur berkata bahwa senyum menawan Alan di saat itu membuatnya terpukau. Lelaki itu sedang menunggu pesawatnya yang akan berangkat tengah malam, ke tujuan yang berbeda, ke belahan dunia yang lain. Akan tetapi dalam waktu yang singkat, Alan mampu mengambil hati Maya. Mereka bahkan berjanji untuk bertemu setelah kembali dari liburan masing-masing. Dan itu yang mereka lakukan beberapa minggu sesudahnya, bertemu di sebuah kafe tak jauh dari kantor Maya.
Kini mereka berdua adalah pasangan yang sering muncul di berbagai media. Dapat dikatakan mendekati status selebriti. Alan, seorang aktivis lingkungan, kerap bepergian dan mendokumentasikan kegiatannya. Beberapa tahun setelah mereka menikah, Maya dan Alan mendirikan sebuah organisasi yang bergerak dalam preservasi hewan-hewan langka. Maya berhenti dari pekerjaan kantorannya dan mendedikasikan diri di organisasi. Alan yang berjiwa artistik bekerja di belakang kamera, sementara Maya yang sangat teratur, bekerja memastikan film-film tersebut mencapai sasaran. Salah satu film dokumenter yang mereka produksi berhasil memenangkan berbagai penghargaan internasional, meluncurkan status mereka sebagai pejuang lingkungan ternama.
Hari ini Maya dan Alan sedang berada di sebuah kota di Amerika Selatan. Alan baru saja selesai mengambil gambar untuk film terbarunya. Mereka menghabiskan sore di sebuah bakeri kecil yang menyajikan kopi dan pandebono. Maya kembali teringat pada cita-citanya seperempat abad lalu, menjadi pemilik dan pengelola sebuah bakeri. Sampai saat ini memikirkan hal tersebut memberinya sedikit rasa haru, seolah ada yang hilang dalam hidup. Ia melirik Alan yang duduk di seberangnya, menghirup secangkir kopi yang kata orang paling lezat di dunia. Maya teringat pada anak-anak mereka di rumah yang selalu menikmati roti-roti buatannya. Dan pada kegiatannya selama lebih dari satu dekade, menolong berbagai hewan langka di dunia. Kini, bakeri idaman seolah hanya sebuah fase hidup, fase yang telah ia lewati dan simpan dalam memori. Alan, anak-anak mereka, dan film-filmnya, ini adalah jalan hidup Maya sekarang. Inilah takdirku, gumam Maya sambil tersenyum.