Bambu

“Bun.”

Matamu menatapku.

“Ayah ingin ngobrol”

Aku tersenyum. Sedikit saja.

“Ayah ada keinginan nih.”

Kau diam saja. Aku agak bingung bagaimana meneruskan.

“Ayah ingin kawin lagi.”

Matamu tak lepas menatap. Tak berkedip. Aku tak yakin, tapi sepertinya kau marah.

“Kenapa, Bun?”

Pipimu basah.

“Bunda menangis?”

Aku usap pipimu. Ya, basah.

Malam ini langit gulita. Tak ada bulan atau bintang. Hanya angin dingin di sela-sela bambu.

Kuusap lagi pipimu.

Tapi kenapa air matamu tak kunjung berhenti. Semakin kuseka, semakin deras mengalir.

Matamu terus menatapku.

Tak berkedip.

Jangan begitu, Bun. Ya, aku minta maaf.

Tanganku basah. Merah.

“Kenapa kau harus marah-marah, Bun. Aku kan cuma bertanya. Kenapa kau harus memakiku?”

 

Angin bertiup semakin kencang. Cahaya kecil jauh di balik kebun bambu semakin besar. Orang-orang kampung, membawa obor. Mata mereka melotot marah. Aku semakin bingung. Mereka menarikku menjauh darimu. Kenapa kau diam saja, Bun? Kenapa kau diam saja saat mereka mencabut cangkul dari tengkukmu? Kenapa kau diam saja saat mereka mengikat dan menyeretku ke tengah sawah, Bun? Tolong aku, Bun.

 

Maaf, Bun. Aku janji tak akan bertanya lagi, Bun.

Malam ini langit gulita. Tak ada bulan atau bintang. Hanya angin dingin di sela-sela bambu.

Tunggu aku, Bun.

 

 

Tamat

 

[Dukung Karim Nas di KaryaKarsa]

Foto oleh NAGA W di Unsplash

4 respons untuk ‘Bambu

Tinggalkan Balasan ke diskandr Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.