Roti, Kopi, & Bifurkasi

Mukadimah

Maya adalah seorang manusia, salah satu makhluk ciptaanku yang menarik. Aku berkata “ciptaanku” bukan karena aku menciptakan dia secara harafiah. Dia dan semua makhluk di planet kecilnya, seperti benda di semesta ini terbentuk oleh hukum-hukum fisika. Hukum fisika yang terbentuk sepersekian detik dari ledakan besar beberapa belas milyar tahun lalu. Aku sebut dia “ciptaanku” untuk memudahkan pemahaman kalian saja. Beberapa ribu tahun sebelum Maya ada, beberapa orang dengan pikiran penuh imajinasi menghubungkan satu titik dengan titik lain dan menghasilkan sebuah ide bahwa aku menciptakan dengan sengaja setiap individu. Memang makhluk bernama manusia ini menggelikan. Di semesta yang luas dan banyaknya di luar pemahaman benak mereka ini, manusia merasa layaknya sebuah keberadaan yang spesial. Sampai-sampai mereka yakin kalau aku membentuk, membuat, menghidupkan mereka satu persatu. Kalian tahu, planet tempat hidup semua manusia yang pernah ada itu sangat kecil, tak ada artinya dalam ukuran semesta. Namun ego manusia begitu besar, begitu besarnya ia dapat melapisi seluruh galaksi. Itu sebabnya aku bilang mereka menarik.

Kembali ke Maya. Dalam hitungan manusia yang fana, manusia berjenis perempuan Austronesia ini berumur duapuluh lima tahun. Bekerja sebagai seorang eksekutif periklanan di sebuah kota besar dengan udara kotor, lalulintas menyedihkan, dan sungai yang selalu banjir di setiap awal kalender. Dan seperti manusia-manusia lainnya yang terjebak rutinitas sejak mereka meninggalkan gaya hidup nomaden (kisah yang menginspirasi mitologi Taman Firdaus [tapi ini untuk cerita di lain waktu]) Maya mendambakan liburan. Dia mendambakan pergi ke tempat yang jauh di mana dia dapat leyeh-leyeh di bawah matahari seharian sambil menyeruput minuman kesukaan. Hingga akhirnya dia bosan akan itu dan entah bagaimana merindukan kembali rutinitasnya yang melelahkan. Rindu untuk kembali bergulat dengan angka dan huruf. Menjalankan hal yang sama berulang-ulang sampai akhirnya planet ini menghabiskan satu putaran mengitari matahari. Dan lalu dia akan kembali mendambakan liburan. Aku tak heran banyak dari mereka yang kebingungan mencari arti dari keberadaannya (yang fana dan sesungguhnya tanpa makna). Sekali lagi ini adalah contoh dari ego mereka yang luar biasa besar yang aku ceritakan di awal tadi. Hanya manusia, dengan segala keterbatasannya, di alam yang di luar pemahaman mereka, mengira kalau hidup mereka (sebuah kumpulan proses-proses fisika dalam skala molekuler yang menghasilkan kesadaran) memiliki arti signifikan. Seolah-olah mereka dilahirkan untuk memberi arti bagi semesta. Sekali lagi, menggelikan.

Setelah mengumpulkan uang, yang tersimpan dalam bentuk kumpulan elektron di sebuah piranti rekaman komputer di sebuah bank, Maya memutuskan untuk mengambil cuti dari kantor. Dia meminta izin ke atasannya (yang dengan sengaja sebisa mungkin menunda menandatangani formulir cuti Maya), lalu meramban internet mencari-cari tempat yang ingin didatangi. Tentunya tempat yang eksotis, –cukup jauh untuk memperlihatkan status sosialnya, tapi tidak terlalu jauh sehingga dia harus menguras tabungan–, serta memiliki banyak tempat di mana dia dapat berpose dan membagikan selfie di media sosial. Maya tak terlalu memusingkan fakta bahwa dia akan bepergian sendiri. Dia sudah terbiasa. Justru dia merasa lebih bebas dengan hal ini. Tak perlu berkompromi dalam menyusun itinerari perjalanan seperti saat bepergian dengan orang lain. Lagi pula Maya berencana mencari teman jalan (atau teman tidur bila beruntung) di tempat tujuannya nanti. Ribuan abad sejak pertama kali berevolusi, makhluk ini masih belum dapat melepaskan diri dari dorongan sistem reproduksi mereka.

Hari keberangkatan pun tiba. Maya dan ransel besarnya telah berada di taksi, menuju bandar udara yang bila jalanan tidak macet dapat ditempuh sekitar dua jam. Dia bisa saja menggunakan transportasi umum, akan tetapi Maya memutuskan untuk memanjakan diri mulai dari keberangkatan. Itu sebabnya dia memesan taksi paling mewah untuk membawanya ke bandara. Maya cukup beruntung bila dibandingkan orang-orang dari kelas sosialnya. Dia memiliki pekerjaan yang stabil, yang memberinya cukup uang sisa untuk ditabung dan diinvestasikan. Maya, seperti manusia lainnya, memiliki apa yang mereka namakan “cita-cita”. Sebuah imajinasi akan dunia mereka nanti di masa depan. Nah, Maya memiliki cita-cita yang ia pupuk semenjak masih seorang gadis kecil. Dia ingin memiliki bakerinya sendiri. Cita-cita ini yang selalu dia ingat setiap menghadapi kesulitan dalam pekerjaan, bahwa setiap jam yang ia dedikasikan di kantor akan membawanya semakin dekat ke cita-cita tersebut (seolah jalan menuju cita-cita telah tertera dalam ruang dan waktu). Maya membayangkan dirinya menghabiskan hari-hari di bakeri. Dikelilingi adonan, aroma, dan sapa pelanggan. Dia dapat membayangkannya dengan jelas, sebuah ruko kecil di sudut kota yang tak terlalu ramai, di mana orang-orang saling kenal satu sama lain. Tempatnya juga akan menyediakan teh serta kopi terbaik, untuk menemani pelanggan (Maya menyebut mereka patron) menikmati roti di pagi atau sore hari. Dan tentu saja dia akan ditemani oleh anjing dan kucing kesayangan. Saat kecil, ibunda Maya bukanlah orang yang menyukai hewan peliharaan. Tak peduli berapa kali Maya merengek, mulai dari ia kecil hingga menjelang kuliah, ibunya bergeming. Itu sebabnya dalam cita-cita tersebut, Maya memastikan ada ruang bagi teman-teman kecil berkaki empat.

Taksi yang ditumpangi Maya mulai melambat, terhambat oleh lalulintas yang mulai padat. Maya melirik ke penunjuk waktu di ponselnya. Masih ada waktu lebih dari cukup. Maya tak ingin sesuatu pun merusak rencana liburan yang telah dia rencanakan dengan sangat rapi, mendetil, dan dari sejak lama. Itu sebabnya, memahami lalulintas kotanya yang tanpa belas kasihan, Maya berangkat lebih awal.

Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk, layar menunjukkan kata “Bunda”. Maya membuka pesan tersebut. Isinya basa-basi standar antara orangtua dan anaknya, berharap agar aku melindunginya selama dalam perjalanan. Berharap agar Maya bersenang-senang. Dan seperti biasa, ibunya menambahkan sebuah permintaan berbalut kata-kata manis. Sebuah sugesti pasif agresif yang intinya meminta Maya untuk mengurangi liburan-liburan liarnya (tentu ibunda Maya tidak menggunakan kata “liar”, tapi tentunya aku tahu itu yang ada di benaknya) dan mulai berpikir untuk berkeluarga. Mencari suami dan melahirkan anak-anak. Seperti yang sudah kubilang, makhluk ini belum lepas dari dorongan untuk berreproduksi, menambah keturunan, dan mewariskan gen; satu-satunya cara bagi mereka untuk menjadi kekal. Bukannya Maya tak sepakat dengan sang bunda, tapi dia merasa dia tak akan pernah menemukan laki-laki yang sesuai. Apalagi yang mengerti dan mendukung cita-citanya. Maya menutup percakapan itu dengan janji untuk membelikan oleh-oleh.

Tanpa disadari percakapan itu cukup memakan waktu. Maya melihat jam dan melirik ke jalan yang tak menunjukkan tanda-tanda akan menjadi lancar. Hatinya mulai gelisah. Aku dapat mendengar ia memaki di dalam hati. Manusia dan rencana-rencana mereka tak pernah gagal menghiburku. Aplikasi di ponselnya memperlihatkan kalau dia akan tiba hanya duapuluh menit sebelum check-in ditutup. Tentunya dengan asumsi lalulintas tidak semakin parah atau tidak ada halangan lain di jalan. Maya melihat tiket pesawatnya. Di sana tercantum nomer gerbang pesawat. Dia tahu lokasi tersebut, jaraknya dari gerbang check-in, dan waktu yang diperlukan untuk berjalan (berlari, koreksi Maya dalam benaknya) ke sana. Beberapa puluh meter dari lokasi taksinya tertambat Maya melihat beberapa ojek terparkir menanti penumpang. Sebuah ide terbersit dalam benak.

Maya selalu bepergian dengan sedikit bawaan, hanya barang-barang yang benar-benar krusial dan susah dicari. Selebihnya dia mengandalkan komunikasi dan adaptasi untuk mendapatkan kebutuhannya selama di lokasi tujuan. Menurutnya ini adalah cara terbaik untuk menyerap jiwa lokasi-lokasi wisata yang dia datangi. Dia kembali melirik ke luar. Ke depan, ke arah mobil-mobil yang merangkak dalam antrian panjang belasan kilometer. Ke samping, ke arah sepeda motor ojek yang dapat meliuk di antara keramaian dan membawanya lebih cepat ke bandara. Dia tinggal meraih ranselnya, duduk di jok sepeda motor, dan bergerak cepat menembus debu jalanan. Maya kembali melirik aplikasi di ponsel. Kini estimasi waktu sampai adalah delapanbelas menit sebelum check-in ditutup. Masih ada waktu, dia berpikir. Sebagian dirinya berkata: bersantailah, liburan ini masih akan terlaksana dengan baik. Kau telah merencanakannya dengan baik. Semua akan baik-baik saja. Dia tidak tahu, harapan adalah pedang bermata dua

Di titik ini ada dua hal yang dapat terjadi dan akan terjadi. Karena dalam hidup setiap manusia, mereka akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Beberapa dari mereka bahkan paham kalau kehidupan sebenarnya tak lebih serangkaian pilihan yang tak pernah berhenti, dari saat mereka pertama kali menghirup oksigen, hingga terakhir kalinya mereka menghembuskan karbon dioksida. Dan setiap pilihan akan memilah semesta, laksana aliran air yang meliuk di antara bebatuan sungai. Ini yang akan terjadi pada Maya di titik ini di jalan hidupnya. Apakah dia memutuskan untuk tetap tenang dan menikmati perjalanan ke bandara yang telah direncanakan? Atau apakah dia memutuskan untuk tidak mengambil risiko, tak berkompromi dengan rencana yang telah dia susun?

Di kesempatan ini aku akan mengijinkan kalian melihat percabangan dalam semesta Maya. Bila kau ingin melihat kelanjutan kisah Maya yang memilih untuk tetap naik taksi ke bandara, ikuti jalan ini. Dan bila kau ingin melihat kelanjutan kisah Maya yang memutuskan untuk turun dari taksi lalu menggunakan ojek ke bandara, ikuti jalan ini.

Kalian aku lepaskan dari belenggu ruang dan waktu, melihat seluruh nasib kucing Schrödinger. Syaratnya hanya satu: baca kisah Maya hingga akhir sebelum kau mengintip ke jalan hidupnya yang lain.

 

 

Intiha

Makhluk dengan nama manusia ini adalah sebuah kejadian yang cukup menghibur. Banyak dari mereka merasa memiliki peran penting dalam keberlangsungan semesta. Sekitar dua juta tahun lalu, sebuah mutasi menghasilkan makhluk yang kemudian menjadi leluhur mereka. Lalu duaratusan ribu tahun lalu, akibat pergerakan dinamis planet, di sebuah lembah di dekat tanduk Afrika, berkembang spesies unik yang menggunakan kecerdikan untuk menyintas. Spesies ini menjadi lebih cerdas, memahami bahasa, dan mengerti konsep abstrak. Semua ini membuat mereka lebih nyaman namun juga sekaligus lebih sengsara. Yang awalnya mereka hidup bahagia di taman-taman hijau, pengetahuan memaksa mereka menciptakan benteng-benteng kokoh dan senjata. Peperangan, penyakit, dan kelaparan. Mereka meminta-minta berharap aku mendengar dan peduli. Tentu, tentu aku mendengar.

Bila kalian dapat melihat, sesungguhnya tidak ada yang acak di dalam semesta. Semua mengikuti formula. Bahkan hal-hal yang dianggap kaotis sekalipun, mereka mengikuti pola-polanya, asal kau mampu melihat seluruh informasi yang mempengaruhinya. Dan semua faktor tersebut, dimulai dari sebuah dentuman tigabelas milyar tahun lebih lalu, membentuk kisah yang kamu baca barusan.

Bila ada jutaan hasil untuk setiap pilihan dan manusia cuma bisa melihat satu saja, maka mereka akan merasa bahwa itu adalah satu-satunya hasil. Dan bila kamu percaya bahwa aku telah menetapkan segala sesuatunya, kalian akan berpikir bahwa hasil tersebut adalah keinginanku. Post hoc ergo propter hoc. Saat manusia berdoa, apakah itu membuatku mengubah keputusan? Bila manusia percaya aku sempurna, maka segala yang telah aku tulis tentunya sempurna. Buat apa aku mengubahnya atas permintaan kalian?

Lantas, apakah berdoa sebuah pilihan sia-sia karena segalanya, mulai dari awal hingga akhir masa, telah tertulis di langit? Tentu tidak. Berdoa memberi manusia ketenangan. Melepaskan kontrol atas apa yang tidak bisa kau kontrol adalah sebuah perasaan yang melegakan. Berdoa adalah salah satu cara untuk melepaskan kontrol, berserah diri. Mereka menyerahkan segalanya padaku, karena apapun yang akan terjadi itu semuanya keinginanku. Tapi apakah memang begitu? Apakah aku yang mewujudkan keinginan manusia? Atau mereka tidak tahu bahwa setiap mimpi yang mereka dambakan, setiap hal buruk yang mereka hindari, semuanya terwujud, tapi mereka hanya akan menjalani satu dari jutaan jalan yang bercabang di dalam kehidupan. Lantas manusia, dengan egonya yang luar biasa besar, dengan percaya diri menganggap setiap akhir adalah keinginanku.

Dapat dibilang kalau kedua Maya di cerita ini tidak salah. Mereka berdua memang menjalani takdirnya. Hanya saja masing-masing tak dapat melihat takdir yang lainnya. Seperti juga kalian.

 

Tamat

 

[Dukung Karim Nas di KaryaKarsa]

Foto (“Jakarta”) oleh Adrian Pranata di Unsplash
Foto (“crossroad”) oleh Ryoji Iwata di Unsplash
Foto (“Colombia”) olej Michael Barón di Unsplash
Foto (“bakery”) oleh Leonardo Baldissara di Unsplash

Satu respons untuk “Roti, Kopi, & Bifurkasi

Tinggalkan Balasan ke Yori Papilaya Batalkan balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.