Sang Sutradara

Pesisir timur Jawa, 1965

Tikto dapat melihat kapal terakhir hilang di balik cakrawala. Beberapa kapal perang yang disamarkan sebagai kapal nelayan. Di benaknya telah tersusun ribuan rencana untuk tugas berat yang menanti. Tugas yang membuatnya rela berkorban.

Matahari tenggelam, kapal-kapal nelayan dari sepanjang pesisir mulai berlayar. Kapal-kapal menghilang di balik cakrawala. Tikto menyeret kakinya di pasir, melangkah memasuki hutan yang akan menjadi rumahnya. Sampai akhir hayat.

 

Beberapa bulan sebelumnya

Fasilitas yang dimanfaatkan oleh militer ini adalah peninggalan tentara Jepang di awal Perang Dunia Dua. Mulanya digunakan sebagai stasiun komunikasi dan gudang logistik untuk persiapan penyerangan ke Australia. Bangunan-bangunannya telah terbengkalai selama belasan tahun saat pasukan yang ditugaskan untuk membuka jalan pertama kali tiba di tempat ini. Tanaman merambat menutupi dinding-dindingnya, rumput tinggi menutup setiap jalan masuk, pohon-pohon rimbun menyembunyikannya dari penglihatan. Komando di markas besar merasa hal itu adalah sebuah keuntungan, sebuah kamuflase alami. Pasukan pembuka jalan hanya ditugaskan untuk membersihkan bagian dalam bangunan serta memastikan keamanan perimeter fasilitas.

Lokasinya ideal sebagai laboratorium rahasia. Jauh dari pemukiman penduduk, berada di tengah hutan di atas bukit. Tak terlalu jauh dari pantai dan laut lepas. Pemukiman terdekat adalah sebuah dusun kecil berisi peladang dan perambah hutan, sekitar dua kilometer dari kaki bukit.

Tikto adalah bagian dari rombongan gelombang kedua yang dikirim ke fasilitas ini. Rombongan gelombang pertama tiba sekitar enam bulan lalu, tak lama setelah fasilitas mulai beroperasi. Penelitian para ilmuwan gelombang pertama memberi hasil menjanjikan sehingga markas besar memutuskan untuk menambah personel. Para petinggi menginginkan implementasi militer sesegera mungkin.

Tikto baru pulang dari studi doktoral di Praha dan bersiap kembali mengajar di institusinya di Bandung saat seorang perwira militer mendatanginya di kantor. Mengingat dirinya adalah pegawai negeri, dengan beasiswa pemberian negara, Tikto sama sekali tak menolak saat diminta pindah tugas. Apalagi saat perwira itu menerangkan bahwa kemampuan Tikto berkomunikasi dalam bahasa Rusia akan sangat berguna karena dia akan bekerja dengan ilmuwan-ilmuwan Soviet. Awalnya Tikto mengira kalau dia akan dikirim ke Rusia. Dia semakin bingung saat sampai di fasilitas militer rahasia di ujung timur pulau Jawa ini. Mulai dari plat informasi hingga dokumen-dokumen, semuanya dwibahasa; Indonesia dan Rusia. Kebingungan Tikto tak berumur panjang. Dalam pengarahan oleh pemimpin fasilitas, seorang kolonel Angkatan Darat, ia memahami kalau fasilitas ini adalah sebuah bentuk kerjasama antara militer Republik dengan pihak Uni Soviet. Di tempat ini kerahasiaan adalah harga mati, secara harafiah. Sang kolonel memastikan seluruh anggota rombongan yang baru datang memahami hal tersebut.

 

Belum selesai Tikto mengeluarkan isi koper, seorang perwira mengetuk pintu kamarnya. Ia diminta segera menghadap kepala laboratorium yang akan menjadi penyelianya di fasilitas ini.

Penyelia itu adalah seorang ahli biologi berpangkat mayor di militer Soviet. Dari namanya Tikto menebak kalau pria itu berasal dari Belarus. Wajahnya penuh kerutan dengan bintik-bintik pigmen, rambut sepenuhnya berwarna putih, tubuhnya tinggi besar dan tegap. Dalam nada bicara yang tegas dan dingin, sang penyelia menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan Tikto. Dia tak punya waktu untuk induksi, segala hal yang harus diketahui sebelum memulai pekerjaan harus dipelajari dari sebuah manual tebal berbahasa Rusia. Untungnya Tikto belum terlalu lama menyelesaikan program doktoralnya sehingga urusan laboratorium seperti ini masih segar di ingatan.

Dari melihat sepintas berkas laboratorium Tikto memahami tugasnya: pengembangan strain baru amuba Naegleria fowleri. Tikto beberapa kali meneliti organisme ini selama penelitian doktoralnya sehingga dia cukup familiar dengan karakteristiknya. Dalam berkas Tikto melihat beberapa paragraf tentang letalitas dan kontainerisasi. Beberapa dokumen dibubuhi cap срочный, membawa ingatan Tikto pada pesan sang kolonel tentang masalah urgensi. Keberlangsungan fasilitas ini bergantung pada situasi politik. Perang dingin antara Soviet dan Amerika serta sekutu-sekutu mereka membuat situasi tidak menentu, termasuk di tanah air. Semua orang dituntut untuk bekerja ekstra cepat untuk mendapatkan hasil.

 

Beberapa pekan kemudian, apa yang dikuatirkan orang-orang di fasilitas dan di markas besar menjadi kenyataan.

Kolonel Makulessy, sang pemimpin fasilitas, mengumpulkan beberapa orang di ruangannya. Dari seluruh laboratorium yang ada di fasilitas, laboratorium Naegleria fowleri adalah yang paling mendekati tujuan utama: senjata biologis. Mayor Kozlov selaku penyelia lab, Tikto, dan Anas salah seorang ilmuwan rombongan gelombang pertama, duduk mengelilingi meja besar di dalam ruangan. Kolonel Makulessy berdiri di depan sebuah papan berisi dokumen-dokumen dari markas besar dan beberapa kliping koran.

“Mayor Kozlov, berapa lama lagi kita dapat mempertahankan stabilitas sampel sebelum pasokan reagen tiba?”

“Sekarang kita memiliki lima sampel strain, Kolonel. Persediaan tabung portabel hanya tersisa dua. Setelah pengiriman sampel bulan lalu, kita belum mendapatkan tabung pengganti. Tanpa wadah penyimpanan yang sesuai, sampel hanya akan bertahan di luar lab selama tujuhpuluh dua jam.”

Kozlov menoleh ke arah Tikto, yang segera menyambung penjelasan penyelianya.

“Dua dari lima sampel ini adalah strain terbaru, Kolonel. Strain yang paling stabil yang berhasil kami kembangkan sejauh ini.”

“Tapi kami belum memahami sejauh mana efektivitasnya pada target, Kolonel. Kami perlu lebih banyak uji coba pada makhluk hidup,” sambung Anas.

“Dengan dokumen yang ada, kalian dapat memproduksi ulang semua strain ini?” tanya Kolonel Makulessy.

“Tentu,” jawab Kozlov tegas.

“Kita harus mempertimbangkan pemusnahan seluruh sampel bila pasokan yang kita perlukan tidak segera tiba. Armada laut telah memblokade seluruh pelayaran kapal-kapal asing dari Selat Malaka hingga Laut Jawa.”

“Kenapa markas di Jakarta tidak memberi tahu situasi kita di sini?” tanya Mayor Kozlov.

“Situasi di ibukota saat ini sangat rumit, Mayor. Bila mereka tahu ada cabang Angkatan Darat yang bekerja sama dengan Soviet, bukan tidak mungkin kami semua akan dicap bagian dari kudeta. Lalu berakhir di ujung moncong senjata Kostrad. Kabar kawat terakhir menyiratkan bahwa markas besar akan menolak mengetahui keberadaan fasilitas ini, bila kita terekspos.”

Anas menatap cemas ke semua orang yang ada di ruangan. Tikto menghela nafas panjang.

“Jadi bagaimana rencana Anda selanjutnya, Kolonel?” tanya Kozlov.

“Cepat atau lambat rezim baru akan mengetahui tentang fasilitas ini. Kita harus mengosongkannya sesegera mungkin. Mempertimbangkan lokasinya yang terpencil serta situasi peralihan kekuasaan di Jakarta, saya rasa kita memiliki setidaknya waktu satu dua tahun sebelum intelijen komando Brawijaya menemukan tempat ini. Akan tetapi saya tak mau mengambil risiko. Kita harus segera pergi sebelum jalur laut terblokir total. Kita harus memusnahkan seluruh sampel gagal dan dokumen-dokumen non-esensial dalam satu pekan ke depan. Dokumen penelitian dari laboratorium kalian harus diselamatkan.”

“Lalu bagaimana kita keluar dari tempat ini bila perairan sekitar Jawa diblokade Angkatan Laut?” tanya Anas cemas.

“Rekan-rekan kita di komite intelijen Soviet telah mengirimkan beberapa kapal dari pantai utara Australia, disamarkan sebagai kapal nelayan Flores. Bukan begitu, Mayor?” ujar Kolonel Makulessy.

Kozlov mengangguk lalu berkata, “ada sedikit masalah, Kolonel.”

“Masalah?” tanya Makulessy pada Kozlov.

“Kapal-kapal yang akan mengeluarkan kita dari sini sekarang berlabuh di Kupang. Melihat situasi negara Anda, mereka tak mau menunggu terlalu lama. Kita cuma punya waktu dua hari untuk mengosongkan tempat ini. Dua hari dari sekarang, kapal-kapal kami akan merapat selama satu jam, setelah kembali melaut ke selatan.”

“Dua hari? Kita tak akan dapat mengosongkan tempat ini hanya dalam dua hari. Tidak tanpa menimbulkan kecurigaan penduduk sekitar,” komentar Tikto.

Kolonel Makulessy berjalan ke arah jendela, menatap ke laboratorium-laboratorium di luar ruang kerjanya. Dokumen dan sampel penelitian dapat segera dipindahkan. Para pekerja dapat berhimpitan selama beberapa hari perjalanan ke pangkalan rahasia Soviet di semenanjung Dampier, sebelum mereka diterbangkan ke Blok Timur. Tetapi peralatan laboratorium serta gedung ini tidak dapat disingkirkan dalam waktu sesingkat itu. Makulessy, veteran dua agresi militer Belanda, menatap orang-orang di ruangannya.

“Kita mampu mengamankan fasilitas ini dalam dua hari. Dengan satu syarat.”

“Apa itu, Kolonel?” tanya Anas gusar. Dalam kondisi normal dia tak akan berani seterus terang ini.

“Mayor Kozlov, dokter Anas, boleh tinggalkan ruangan ini? Saya harus berbicara dengan Doktor Tikto. Terima kasih.”

Tanpa basa-basi Kozlov segera berdiri dan meninggalkan ruangan. Anas enggan beranjak, sehingga Kozlov harus menarik kerah jas lab lelaki tersebut.

 

Kolonel Makulessy memastikan tidak ada orang di luar ruangannya. Dia mengambil sebungkus rokok kretek dari dalam laci meja kerja.

“Kau merokok?” tanyanya pada Tikto.

“Tidak, Kolonel,” jawab Tikto. Otaknya berputar, mencoba menebak rencana perwira di depannya.

“Mungkin setelah ini kau harus mulai merokok,” balas Kolonel Makulessy sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Gemeretak cengkeh terbakar melepaskan aroma minyak atsiri ke udara. “Doktor Tikto, kau tahu kenapa kau terpilih untuk menjadi bagian dari fasilitas ini?”

“Saya asumsikan karena penelitian doktoral saya di bidang mikrobiologi. Dan kemampuan saya berbahasa Rusia.”

“Tepat. Tapi ada banyak ilmuiwan kita yang baru pulang dari Blok Timur dengan kompetensi Anda. Kami juga mengontak mereka. Hanya Anda yang menyetujui permintaan kami dengan segera, tanpa syarat, tanpa penundaan. Kenapa, Doktor?”

“Karena ini adalah kewajiban saya bagi negara, Kolonel. Tentu saja.”

“Anda tidak merasa kehilangan, jauh dari keluarga?”

“Maaf bila saya lancang, Kolonel. Tapi saya rasa Anda sudah membaca dossier saya.”

“Dibawa oleh orang tua ke ibukota dari kampung halaman di Yogyakarta. Anak tunggal, menjadi yatim piatu sejak orang tua terbunuh dalam serangan Operation Kraai. Tidak memiliki keluarga dekat. Itu yang aku baca, Doktor.”

Tikto menangguk mengiyakan.

“Anda tak punya orang spesial di Bandung, Doktor? Seorang calon istri?”

“Tidak, Kolonel.”

“Intinya kau tidak memiliki siapa-siapa. Itu sebabnya kau sangat berdedikasi pada pekerjaan. Kau juga sangat patriotik, itu sebabnya kau sama sekali tak mempertanyakan etika pekerjaan kita di sini. Kau tentunya paham tujuan pekerjaan kita di sini, Doktor.”

“Saya paham, Kolonel.”

“Dan tidak sekalipun kau tidak mengeluh. Menarik.”

“Saya hanya tahu saya di sini berbakti bagi negara, Kolonel.”

“Ya, saya paham. Itu sebabnya saya meminta Anda mengemban tugas penting ini. Cuma Anda yang sanggup, Doktor Tikto.”

 

Dua hari kemudian

Pagi di hari jadwal kedatangan kapal-kapal intelijen Soviet. Plat-plat di luar bangunan serta pagar kawat yang mengitari parameter telah dibereskan oleh tentara. Dokumen-dokumen serta sampel-sampel penelitian telah diamankan para ilmuwan. Alat-alat laboratorium yang terlalu berat untuk dibawa masih berada di dalam fasilitas. Tikto adalah orang yang akan tinggal dan menyingkirkannya, seorang diri. Namun tugas itu tidak seberat tugas utamanya. Dia harus memastikan bahwa tidak ada satu jiwa pun yang berani mendekati fasilitas ini selepas dikosongkan.

Hujan lebat menerpa hutan rimba di pesisir timur Jawa, menutup segera setiap jejak langkah puluhan orang yang bergerak menuruni bukit menuju pantai. Tikto berjalan di urutan paling belakang, tak jauh dari Mayor Kozlov dan Kolonel Makulessy. Di malam sebelumnya, penyelia itu datang ke ruangan Tikto. Perwira Belarus tua itu memuji kesetiaan Tikto pada negara serta mengungkapkan kebanggaannya menjadi rekan kerja Tikto. Untuk pertama kalinya Kozlov menyapa Tikto dengan panggilan “Tovarisch“.

Kolonel Makulessy juga menyambanginya saat fajar datang. Dia ingin kembali memastikan kesediaan Tikto mengemban tugas. Untuk ditinggal di belakang dan menjaga benteng. Sang Kolonel memberi Tikto sepucuk Makarov dengan sebutir peluru. Dia berpesan untuk hanya menggunakan senjata itu bila tugas Tikto telah terlaksana dan pikirannya mulai tak dapat diandalkan. Tikto berharap nasibnya tidak harus berakhir seperti saran sang Kolonel.

Rencana yang Tikto dan Kolonel Makulessy rancang memiliki tujuan yang sederhana. Namun setiap langkah harus dilaksanakan secara tepat agar tujuannya tercapai.

“Bangsa ini masih percaya tahayul,” ujar Tikto semalam sebelumnya, saat para ilmuwan baru selesai membereskan dokumen-dokumen penelitian di laboratorium. “Cara paling efektif menutupi keberadaan fasilitas ini adalah dengan menyebarkan rasa takut ke masyarakat sekitar. Rasa takut yang bersumber dari sini.”

Tikto menggenggam sebuah silinder aluminium bersistem pendingin. Di dalamnya tersimpan vial-vial berisi larutan teror.

Strain di dalam tabung ini adalah varian yang paling stabil. Kita dapat melepaskannya ke beberapa sumber air penduduk.”

“Bagaimana dengan efeknya? Kita tak ingin penduduk di wilayah ini mati karena wabah. Itu akan menimbulkan kecurigaan dan memancing penyelidikan ke kita semua,” balas Kolonel Makulessy.

“Tidak akan menjadi wabah, Kolonel. Isi tabung ini cukup mematikan untuk tidak menghasilkan epidemi berkepanjangan. Letalitas strain meningkat hingga sembilanpuluh lima persen apabila terdapat konsentrasi tinggi hormon seksual di sistem peredaran darah host. Semakin tinggi kadar testosteron atau estrogen, semakin mematikan.”

“Sangat mematikan bagi remaja?” tanya Makulessy.

Tikto mengangguk. “Infeksi akan ditandai oleh halusinasi dan dorongan seksual yang meningkat. Diikuti kekacauan sistem indera sebelum akhirnya jaringan otak pengidap habis terkonsumsi. Kematian yang menyiksa batin dan raga.”

Kolonel itu terkesiap melihat Tikto dengan dingin menjelaskan efek hasil penelitiannya di manusia. Dia sedikit bersyukur bahwa Tikto dengan sukarela ditinggalkan di lokasi tanpa ada harapan keluar. Kolonel Makulessy merasa seram membayangkan orang dengan emosi sedingin dan pengetahuan seberbahaya Tikto tetap bekerja mengembangkan senjata.

“Lalu bagaimana efeknya pada orang dewasa?” tanya Kolonel Makulessy.

“Halusinasi dan efek afrodisiak masih ada, tapi tak terlalu intens. Letalitas menurun sekitar empatpuluh persen. Masih cukup mematikan untuk menciptakan ketakutan.”

“Transmisi antar manusia?”

“Tidak memungkinkan, Kolonel. Hanya akan terjadi apabila korban mengonsumsi air yang terkontaminasi. Atau tidak sengaja tertelan.”

“Di mana kau berencana akan menyebarnya?”

“Ada beberapa titik mata air dan sumur warga. Aliran air yang minimal, sangat cocok untuk menjaga populasi amuba.”

“Terdengar seperti penyakit yang sempurna bagi rencana kita. Tapi ini tak akan berjalan lancar tanpa faktor tahayul, Doktor. Ini bagian paling krusial dan kompleks dari rencana kita. Kau harus menyusup ke perkampungan dan menyebarkan cerita. Kau sanggup?”

“Saya punya rencana, Kolonel. Saya pasti siap.”

“Bagus.”

 

Tikto dapat melihat kapal terakhir hilang di balik cakrawala. Beberapa kapal perang yang disamarkan sebagai kapal nelayan. Di benaknya telah tersusun ribuan rencana untuk tugas berat yang menanti.

Rencana itu diawali dengan Tikto, menyamar sebagai seorang amtenar yang dikirim pemerintah pusat untuk mencacah, memasuki dusun terdekat. Berbekal beberapa surat bercap Republik, warga dusun yang buta huruf menyambutnya dengan tangan terbuka. Setelah satu pekan mereka bahkan membangunkan sebuah bilik bagi Tikto, tak jauh dari mata air yang biasa digunakan oleh warga untuk mengambil air minum dan mandi. Berhari-hari Tikto menulis, mereka cerita, memantau lokasi yang biasa didatangi penduduk di sekitar kaki bukit.

Hari menjadi pekan, bulan bergulir menjadi tahun. Tikto telah diterima menjadi bagian dari warga sebuah dusun. Sesekali, setelah memastikan tak ada orang yang melihat, Tikto akan memeriksa kondisi fasilitas militer. Bangunan-bangunan itu terlihat semakin terbengkalai. Hanya sebuah benteng tua peninggalan Jepang di masa perang. Suasana hutan bukit yang mencekam membuat warga tak berani bergerak terlalu jauh ke dalam.

Akan tetapi dengan bertambahnya penduduk di dusun itu dan dusun-dusun sekitar, semakin banyak wilayah hutan yang dibabat untuk dijadikan lahan. Cepat atau lambat lahan warga akan mencapai wilayah perimeter fasilitas militer rahasia. Tikto tahu dia harus segera memulai rencananya.

Di suatu malam tanpa rembulan, Tikto mengaku kalau dirinya didatangi sesosok makhluk. Seorang perempuan berwajah luar biasa rupawan, namun dari pinggul ke bawah bertubuh ular raksasa. Makhluk itu meminta Tikto memberi pesan pada warga tak memasuki hutan di puncak bukit. Warga dusun awalnya tak percaya kalau ada penunggu bukit yang mendatangi Tikto. Mereka berkilah kalau itu cuma mimpi. Apalagi selama ini mereka tak pernah lupa menyajikan sesajian. Akan tetapi Tikto bergeming pada ceritanya. Dia berkilah, mungkin sang penguasa bukit kuatir melihat lahan warga yang semakin masuk ke dalam hutan.

Tikto merasa ceritanya berhasil merasuki benak sebagian warga, walau tak semua. Sebagian masih ada yang tetap merambah di sekitar hutan, tak jauh dari perimeter fasilitas militer rahasia. Di sini Tikto memutuskan untuk menggulirkan fase akhir rencananya.

Sebuah sumur yang berada di pinggir hutan menjadi titik yang dipilih Tikto. Dia mengeluarkan sebuah vial larutan dari dalam tabung portabel yang telah tersimpan selama satu tahun lebih. Di dalam larutan itu hidup puluhan ribu spesimen amuba pemakan otak yang telah direkayasa agar mudah dibawa kemana-mana dan disebarkan di daerah musuh. Sayang bagi warga dusun, kali ini yang akan menjadi korban adalah mereka, yang kesalahannya adalah tinggal terlalu dekat dari fasilitas militer rahasia.

Tak lama kemudian korban pertama jatuh. Tak sulit bagi Tikto untuk meyakinkan warga desa bahwa terdapat hubungan antara pertemuannya dan kematian warga desa yang malang itu. Apalagi beberapa hari sebelum kematiannya, warga dusun itu meracau riuh. Tentang dewi ular dan penari di hutan.

Saat korban terus berjatuhan, terutama anak-anak remaja dusun, warga mulai resah. Tikto dengan lihai merajut cerita baru. Tentang kutukan dan sumur terlarang. Apalagi setelah sepasang remaja ditemukan mati telanjang, tak jauh dari sumur di pinggir hutan.

Tidak ada yang menyebar lebih cepat daripada kabar buruk. Kabar tentang kutukan di dusun itu segera menyebar ke tempat lain. Kematian juga mulai menyambangi dusun-dusun lain, menyisakan anak-anak kecil dan orang-orang tua. Didera ketakutan akan kutukan yang seolah tak dapat dihindari, banyak warga yang pindah ke wilayah-wilayah lain. Sejauh mungkin dari hutan yang kini dicap angker itu. Sementara yang tak sanggup pindah terlalu jauh, mereka terpaksa mengungsi ke dusun yang ditempati Tikto, karena sepertinya hanya dia yang tahu persis di mana tempat-tempat yang harus dihindari agar terhindar dari kutukan. Karena ilmunya, warga desa lama-kelamaan memanggil Tikto dengan sebutan baru: Mbah Buyut.

 

Sekitar empat puluh tahun kemudian

Tikto telah lupa nama aslinya atau kenapa dia berada di desa terpencil di pesisir timur pulau Jawa ini. Dia cuma tahu kalau namanya adalah Mbah Buyut, sang tetua yang mengetahui rahasia kelam hutan-hutan ini. Dia cuma tahu kalau tugasnya adalah menjaga agar rahasia kelam di tengah bukit selamanya tertutup dari orang luar. Dan dia masih dapat memainkan perannya dengan baik. Empat puluh tahun memelihara rahasia membuatnya begitu lihai memainkan setiap utas pembentuk sandiwara mematikan di desa ini. Seperti saat serombongan mahasiswa dari kota besar di baratlaut datang berkunjung. Salah satu prasayarat kelulusan kuliah mereka, katanya.

Bagai seorang sutradara dari neraka, Mbah Buyut menjerat satu persatu remaja kota besar itu dalam jejaring tahayul dan horor yang dia lepas di hutan puluhan tahun lalu. Mbah Buyut membiarkan remaja-remaja ini pulang ke kota mereka. Yang beruntung akan pulang dengan selamat. Sebagian akan pulang menanti kematian yang akan singgah dalam hitungan hari. Menunggu maut sambil melewati malam-malam penuh mimpi buruk yang bertambah seram setiap detiknya. Dan yang jelas mereka semua akan pulang membawa sebuah peringatan.

Jangan dekati hutan di bukit. Jangan dekati desa ini.

 

§§§

 

Adendum

Terima kasih kepada Yoga Nandiwardhana, Ario Tamat, dan Derry Destian sebagai pendukung fanfic ini!

Foto oleh Conscious Design di Unsplash

[Dukung Karim Nas di KaryaKarsa]

Tinggalkan pesan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.