Ditulis oleh Amelia Riana
Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Karim Nas
Acara ini dipenuhi manusia-manusia berperangai tak lazim, mulai dari pria-pria paruh baya dengan obsesi menyeleweng, perempuan-perempuan dengan pulasan wajah yang mengganggu, hingga kostum-kostum yang memperlihatkan bagian tubuh yang sesungguhnya melelahkan bagi mereka yang memandang. Namun di antara para peserta yang sepertinya membenci norma sosial ini, perempuan itu tetap mampu menarik perhatian. Tubuhnya kurus bagai pemadat, terbalut celana jins hitam lusuh berlubang-lubang menganga dan kaos abu-abu pudar yang sepertinya tak pernah mengenal setrika.
Lelaki itu juga sama tertariknya seperti mereka yang berkumpul berdesak-desakkan di tempat ini. Dengan sigap ia melemparkan pertanyaan bertubi-tubi, lebih banyak dari peserta lainnya. Kamu ini apa, adalah saripati dari setiap pertanyaannya. Di sana, di hadapan lelaki itu, sebuah mitos, yang dalam keremajaan dan kegusarannya terlihat bagai makhluk asing, terdampar di tengah manusia-manusia dewasa pembenci kue dan gula.
“Aku seorang penulis,” jawabnya, layaknya seorang cenayang melihat ke dalam bola kaca. Ia tahu lelaki itu dibebani rasa penasaran yang membuncah. Tanpa belas kasihan ia melanjutkan, “Kau tahu, aku menganggap kalau menukar buku dengan uang itu tidak adil. Aku lebih menginginkan perhatianmu.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua, sesuatu yang sudah akrab bagi si lelaki. Dipelototi puluhan mata yang lupa berkedip kala dua benak saling bergulat, ada kepuasaan aneh yang cuma ia seorang diri pahami. Perempuan itu hanya tersenyum, menikmati keletihan yang ia ciptakan.
Berikan perhatianmu, pinta si perempuan.
Kau akan mendapatkannya, tulis si lelaki dalam huruf bersambung tanpa cela.
Seolah menunggu hingga keabadian usai, laki-laki itu akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian yang cukup untuk berujar pada sang perempuan.
“Terima kasih sudah menyediakan waktu untuk berbicara.”
Aku hanya ingin merusak benak-benak muda, mata perempuan itu berkata. Lidahnya bergerak piawai melontarkan sahutan-sahutan jahil. Betapa mudah memerangkap laki-laki menggunakan mantera.
Laki-laki itu tersenyum saat jemari si perempuan menyelinap ke tangannya, menggengam bagai akar rambat menjerat pasak-pasak kayu.
Aku menyanggupi.
Ia menghabiskan waktu luangnya di pekan berikut membaca karya-karya sang perempuan. Perpaduan alam sihir dan alam duniawi, yang janggal dan yang dangkal, serta segalanya yang ada di antara. Perempuan itu membuatnya percaya akan keberadaan makhluk mandraguna yang ikut mengantri di toko kelontong lalu mabuk-mabukan di warung tuak merutuki kelakuan makhluk-makhluk fana–tentang arti manusia dalam cetak biru kehidupan. Tentang kenapa tiada yang benar-benar mencintai manusia dan tentang janji-janji manusia yang tak pernah ditepati. Lelaki itu terlelap, mimpi absurd mencekoki alam bawah sadarnya. Ia melihat dirinya melayang di atas punggung seekor naga, berputar-putar di atas sebuah kastil, bergidik seram akan kabut hitam yang perlahan membungkusnya dalam dingin dan sepi.
Renggutan pagi mengguncangnya keras ke alam sadar. Serpihan-serpihan mentari menembus jendela kamar apartemennya yang terpisah jauh dari hiruk pikuk lalu-lintas di bawah. Di antara tumpukan notifikasi lain yang menjauh dan memudar buram ia melihat layar ponsel dan mendapati pesan singkat dari perempuan itu. Ia dapat membayangkan wajah si perempuan, mata jernihnya yang coklat tua seperti lumpur nista dengan tawanya yang jauh dari tulus. Perempuan itu memintanya untuk bertemu melalui sebuah pesan tulus, berisi ajakan keluar sejenak dan minum kopi bersama. Keraguan dan kekhawatiran menggantung di benaknya, selalu seperti itu setiap menghadapi permintaan seorang perempuan. Jauh di lubuk hati ia percaya dirinya tidak akan pernah cukup istimewa untuk membuat perempuan dengan senang hati mencurahinya dengan perhatian.
Kali ini ia salah.
Perjumpaan pertama mereka hanyalah untuk menghabiskan waktu berdua ditemani beberapa cangkir kopi. Perempuan itu memesan kopinya seperti perempuan lain yang ia kenal, dengan tiga sendok gula dan tiga sendok krim. Ia memesan kopi hitam, tidak kurang tidak lebih.
Perempuan itu berbicara seolah sibuk mengurai benang kusut. Tangannya bergerak ke sana kemari seolah mengusir sesosok makhluk kasat mata. Perempuan itu tersenyum bagai seorang lelaki yang tertangkap basah. Sudut-sudut bibirnya tak sejajar, dengan mata yang terpusat pada sebuah ruang di antara jauh dan dekat.
Ia dengan sukarela membiarkan dirinya terjerat. Ia bertanya-tanya apakah perempuan itu paham, bahwa setiap malam sebelum pertemuan ini ia menelusuri setiap kata dan kalimat yang mengalir dari tangan sang perempuan layaknya ibadah. Tertidur dalam fantasi yang mempesona dan mimpi-mimpi mencekam. Ia mencari-cari di bola mata, lubang hidung, dan geligi perempuan itu akan sebuah jawaban, akan apa yang membuatnya tersedot ke dalam lubang hitam yang menganga.
Kali ini tiada keheningan. Ia dapat mengindera bahwa perempuan itu berusaha mengisi percakapan mereka dengan sesuatu yang lebih dari sekedar pertanyaan atau pernyataan kosong. Dan ia menghargai itu. Perempuan-perempuan sebelumnya bahkan tak mencoba untuk sekadar berusaha. Keheningan adalah pemutus jalinan dua jiwa.
“Aku menginginkan perhatianmu,” ujar si perempuan itu penuh teka-teki, dengan tatapan masih mengarah ke tempat yang tak mampu ia pahami. “Aku ingin menahan jiwamu, membawanya ke dunia yang lebih luas dari apapun yang bisa kamu bayangkan.” Suaranya melembut hingga nyaris bagai sebuah bisikan halus. “Tempat di mana kamu lebih dari sekadar kantung tulang dan kulit. Tempat yang menakjubkan. Tempat yang konyol. Tempat yang…”
“Irasional,” sambungnya, menutup kalimat yang dilantunkan bagai puisi.
Dan begitu saja, guna-guna itu padam dan sirna. Perempuan itu meluruskan punggungnya, bibirnya tergelung meringis. Ia tertawa seiring gelora tatapan mata yang terpantik.
“Tapi itu begitu menggairahkan,” perempuan itu berseru. “Begitu merangsang.”
Si lelaki terpaku, mencerna setiap derai kata yang mengetuk gendang telinganya.
“Tempat yang mengerikan,” sambungnya si perempuan. “Dan maksudku dalam arti seharfiah mungkin. Tempat yang membangkitkan takjub maupun rasa takut, tempat yang menafikan segala hukum-hukum semesta.”
Ujung jari perempuan itu mengelilingi bibir cangkir yang lembab oleh kopi dan lipstik, menghantarkan gelombang-gelombang suara yang hanya dapat didengar kelelawar dan anjing-anjing liar.
“Orang-orang selalu berkata kalau aku tak boleh berpikir seperti itu,” lanjut si perempuan. “Bahwa pikiran seperti itu adalah kegilaan dan khayalan semata. Namun apa salahnya percaya bahwa kita semua memiliki makna yang lebih dari sekadar kumpulan daging, kulit, dan tulang. Mereka juga berkata bahwa cinta tak dapat dijelaskan dengan akal, tapi tak ada yang lantas berkata ‘hey, jangan berbicara tentang cinta seperti itu‘.”
Perempuan itu terdiam, kerutan-kerutan di dahinya semakin dalam, dadanya yang bergelora naik turun bagai metronom. Si lelaki mengambil sikap duduk tegak, pengejawantahan kesantunan dan kewaspadaan, imbalan setimpal bagi makna yang dibawa sang perempuan ke dalam diskursus mereka. Ia dapat merasakan nadi di leher, di pergelangan, dan kelopak matanya berdenyut-denyut deras. Adalah sebuah kehormatan menyaksikan seorang penulis menjelaskan dirinya. Bagai menyaksikan seorang penyihir membuka rahasia di balik mantra dan ramuannya.
“Sudikah kau berbagi nubuat ini denganku?” tanya si perempuan. Dalam kesadaran penuh ia sudah tahu jawabannya. Di dalam lembar-lembar benak si lelaki telah terpatri jawaban yang perempuan itu inginkan:
Kau tak perlu meminta dua kali.
Malam pertama perjumpaan mereka usai, terbakar hangus oleh letupan-letupan dari dalam, oleh tarian api yang menyucikan jiwa sepasang entitas. Ke peraduan lelaki itu melemparkan tubuhnya yang menggigil dalam demam, hanya untuk terbangun di tengah malam, terbalur keringat, basah di selangkangan.
–Bersambung–
Ditulis oleh Amelia Riana. Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Karim Nas. Tautan ke naskah asli (dalam Bahasa Inggris)
Foto oleh Simon Matzinger di Unsplash