Batas

Seekor biawak sedang berjemur di aspal menyerap radiasi matahari saat sebilah anak panah menembus lehernya. Seorang lelaki berjalan mendekat. Ia mencabut anak panah yang masih menancap lalu dengan sebilah belati ia tebas leher buruannya. Darah mengucur membasahi tanah merah gersang di pinggir jalan tol. Sebelum perang, jalan tol ini sangat ramai. Salah satu ruas jalur Trans Jawa yang memanjang dari barat ke timur.

Karkas yang telah dikuliti ia bungkus rapi lalu ia masukkan ke dalam tas di sisi sepeda motornya. Beberapa ekor gagak mendarat mengamati. Lelaki itu melihat ke petunjuk bahan bakar. Jarumnya mengarah ke bawah. Ia mengambil sepasang binokular dari dalam tas kanvas besar yang terikat di bagian belakang jok. Diarahkannya pantauan ke barat. Cakrawala tampak menari-nari akibat fatamorgana, tanah kering di kiri kanan jalan terpanggang kerontang. Tujuannya sudah dekat.

§

Hari tengah beranjak sore saat sepeda motornya berhenti di depan pembatas yang melintang menutup jalan. Sebuah kamp tampak beberapa ratus meter di depan. Umbul-umbul hitam berkibar-kibar, tertambat pada tiang-tiang yang menyeruak dari balik bentengnya yang terbuat dari rongsokan logam, lembaran seng, dan kawat-kawat baja.

Dua orang penjaga berjalan mendekati. Keduanya membawa senjata. Sebilah tombak terbuat dari pipa besi dengan ujung yang diruncingkan, serta perisai yang terbuat dari belahan drum besi. Tubuh mereka kurus namun kekar, dengan kulit dan rambut coklat terbakar.

Penjaga yang perempuan berjalan mendekati. Dengan suara datar ia menyapa.

“Orang asing, ke mana tujuanmu?”

Lelaki itu tidak segera menjawab. Ia hanya meraih karung di jok belakang. Penjaga yang berdiri di belakang maju selangkah, tombak di tangannya mengacung tegak.

“Barter,” ujarnya sambil mengangkat karung tinggi-tinggi. Suaranya berat dan kasar.

Penjaga perempuan memberi isyarat kepada rekannya untuk memeriksa, tombak di genggamannya mengarah ke leher si pengendara sepeda motor. Setelah selesai memeriksa, rekannya memberi isyarat anggukkan kepala.

“Baiklah, kau boleh masuk. Kau cuma boleh mendatangi pos barter. Setelah urusanmu selesai, kau harus segera pergi.”

Penjaga yang berbadan besar membuka pembatas jalan. Lelaki tua itu menjalankan kendaraanya perlahan menuju gerbang kamp. Ia mengangguk memberi hormat.

§

Pemukiman ini terjaga dengan baik. Selain benteng luar, bagian dalamnya dikelilingi pagar-pagar tinggi terbuat dari kayu dan bambu runcing, dengan menara penjagaan berdiri di setiap sudut. Tidak terlihat bangunan yang menyerupai tempat tinggal permanen. Kamp seperti ini biasanya hanya berfungsi sebagai titik pengawasan dan pengadaan logistik bagi pemukiman permanen yang lebih besar, biasanya berjarak beberapa kilometer ke arah pedalaman.

Pos barter berada di ujung barat daya kamp. Pos itu tak lebih dari kerangka sebuah truk bekas, dengan tiang-tiang kayu membentuk tenda di sekeliling dan di atasnya. Lelaki tua itu memarkirkan sepeda motornya di dekat pompa air. Setidaknya negeri ini belum kekurangan air, sumber daya yang membuat banyak kebudayaan lain tumbang pasca perang.

Seorang perempuan muda muncul dari dalam pos. Kepalanya plontos, tindikan logam memenuhi daun telinga. Si pengembara tua menggelontorkan barang-barang yang hendak ia barter di atas meja di depan pos. Filter air, setumpuk lembaran kertas, segulungan tali tambang, dan beberapa buah baterai berbagai jenis.

“Hari ini hari keberuntunganku,” ujar perempuan itu tersenyum saat mengambil sebuah baterai nikel cadmium. “Apa yang kau perlukan, pak tua?”

“Bahan bakar,” jawabnya sambil menunjuk ke arah sepasang jeriken di sisi sepeda motor.

“Oke. Tapi kita harus diskusikan dahulu jumlah yang bisa kau dapat.”

“Tentu saja.”

“Itu saja yang kau perlukan?”

Lelaki itu mengangguk. Pandangannya tertuju ke arah pegunungan di barat.

“Bukannya aku mau ikut campur, tapi aku rasa itu bukan keputusan yang bijak, pak tua. Tidak untuk orang seusiamu, apalagi bepergian seorang diri,” si perempuan berkomentar, mengasumsikan tujuan si lelaki tua.

“Aku punya alasanku.”

Si penjaga pos barter menyortir dan memeriksa barang-barang yang ditawarkan si lelaki tua.

“Kau pasti sudah mengembara cukup lama dapat menemukan barang-barang seperti ini,” ujarnya.

“Bukan urusanmu,” balas si lelaki tua.

“Baiklah, pak tua. Tak perlu galak begitu, aku cuma berbasa-basi. Di zaman pasca kiamat seperti ini, berbincang-bincang dengan orang asing adalah sebuah kemewahan yang tak boleh dilewatkan.”

Perempuan itu mengeluarkan sebuah buku tulis dan pensil lalu mulai mencatat benda-benda yang ada di atas meja barter.

Lelaki tua itu melirik ke si penjaga. “Lembah Priangan,” ujarnya singkat.

“Tempat itu dikuasai milisi eks militer. Orang-orang kejam, tak pandang bulu, dan tak suka orang asing. Apa yang sebenarnya kau cari di sana sampai sebegitu nekat? Harta karun?” tanya penjaga sambil tangannya sibuk menulis.

“Seseorang. Teman lama.”

“Aku belum pernah mendengar ada orang mengambil resiko seperti kau hanya demi bertemu teman. Tidak di zaman ini.”

“Dia bukan teman biasa,” jawab si lelaki tua. Matanya menatap ke sebuah titik di langit.

“Aku yakin itu. Lantas apa yang membuatmu yakin orang yang kau cari ada di sana? Kau tentu tahu manusia kini spesies yang hampir punah.”

“Aku tidak tahu. Aku cuma ingin mencari dia sebelum mati. Aku cuma ingin memastikan apakah ia masih ada di Bumi.”

Perempuan itu tersenyum mendengarkan jawaban si lelaki tua. Benaknya menggabungkan petunjuk-petunjuk yang membentuk sebuah gambar. Sebuah romansa. Ia tak dapat menyimpulkan apakah itu sebuah romansa yang tak pernah terwujud atau yang berakhir tanpa penutup.

“Kau tunggu di sini. Aku akan melaporkan tawaran dan permintaan bartermu ke pemuka adat,” ujarnya.

“Terima kasih.”

§

Tak lama kemudian perempuan itu telah kembali.

“Pemuka adat masih menimbang. Mereka akan memberikan kabar segera.”

Si lelaki tua mengangguk.

Ia memperhatikan sekeliling, melihat ke perangkat yang berada di atap kerangka truk. Ia dapat melihat sebuah panel surya di balik kerangkeng baja. Di sebelahnya sebuah antena berbentuk kawat menjulang tinggi.

“Antena itu untuk apa?” tanyanya.

“Menangkap sinyal radio,” jawab si penjaga, sambil mengutak-atik sebuah rongsokan papan elektronik, mencari komponen yang sekiranya dapat didaur ulang.

“Masih ada sinyal di luar sana?” tanya lelaki tua itu lagi.

“Hanya komunikasi dengan pemukiman-pemukiman lain. Urusan barter.”

“Kau pernah menangkap sinyal lain?”

“Terkadang ada transmisi dari kelompok penyintas nomaden yang mencari pemukiman untuk bergabung.”

“Kalian menerima pengungsi?”

“Hanya bila kami membutuhkan. Mulut tambahan untuk diberi makan bukan tawaran menarik. Apalagi dengan ketersediaan lahan bebas radiasi yang tersisa.”

Lelaki itu memperhatikan sebuah penerima sinyal berbentuk cakram.

“Penerima satelit?” tanyanya penasaran.

Perempuan itu menatap curiga. “Ya. Kenapa?”

“Aku kira tidak ada lagi satelit di luar sana.”

“Tidak yang absolut di semesta ini, pak tua.”

“Jadi maksudmu masih ada satelit yang berfungsi?”

“Kau pernah dengar soal mitos insula utopia?” si penjaga balas bertanya.

“Pemukiman orang-orang super kaya, bersembunyi dari kiamat nuklir.”

Perempuan itu menunjuk ke atas. “Salah satu dari mereka mengirimkan satelit-satelit mikro ke sana.”

“Maksudmu tempat itu nyata? Dan mereka punya akses ke satelit?”

“Saat negara-negara saling bunuh, roket mereka meluncur tanpa terdeteksi.”

“Lantas apa gunanya untuk mereka?”

“GPS, pemetaan wilayah bebas radiasi, keamanan wilayah, kontak dengan pemukiman-pemukiman penyintas lainnya, dan sebagainya.”

Si penjaga pos memperlihatkan salah satu layar komputernya yang berisi diagram pergerakan satelit. Titik-titik kecil melintas di jalurnya, mewakili sebuah mesin yang kini melayang belasan kilometer di atas planet yang kini sunyi.

“Jadi tempat itu bukan mitos,” gumam si lelaki tua.

“Mereka bahkan memiliki jaringan internet yang berfungsi. Terenkripsi dan sebagian besar hanya arsip. Jauh berbeda dari internet sebelum kiamat. Lebih menyerupai internet di akhir abad lalu.”

“Dan kau memiliki akses ke sistem komunikasi mereka?”

“Aku berada di sini tidak hanya karena kecantikanku, pak tua,” penjaga pos barter itu tertawa. “Kalau bukan karena sistem mereka, banyak pemukiman penyintas yang tak akan bertahan.”

“Maksudmu?”

“Perdagangan. Benih peradaban. Sistem mereka memungkinkan itu.”

§

Lelaki tua itu beruntung. Para pemuka adat pemukiman setuju untuk memberikan bahan bakar yang ia perlukan. Si penjaga pos barter pun punya andil. Ia melaporkan pada mereka kalau barang-barang yang ditawarkan si pengembara sangat dibutuhkan dan susah dicari.

“Kau serius akan melanjutkan perjalanan, pak tua? Aku yakin kau jago berkelahi. Tapi satu orang jagoan tua tak akan sanggup menghadapi gerombolan bandit yang berkeliaran di daerah sini saat malam hari.”

“Aku tak ingin memanfaatkan kebaikan tuan rumah. Tujuanku di sini sudah selesai.”

“Baiklah. Kalau itu maumu.”

Si penjaga pos barter mengambil sebatang kandar kilas dari lemari kecil di atas meja kerjanya.

“Di sini ada informasi peta terbaru. Unduh datanya ke gawaimu.”

Sistem navigasi sepeda motor memuat data baru. Layarnya menampilkan peta statis wilayah, dengan noktah-noktah yang menandai lokasi-lokasi penting; zona aman, pemukiman, pos-pos barter, hingga zona radiasi.

Sebelum perang, Jawa adalah salah satu tempat terpadat di dunia. Sekarang pulau ini kosong dan tandus. Tak ada pemenang dalam pemusnahan masal. Yang kalah hancur lebur, yang menang sekarat.

“Aku tak paham apa yang kau cari di sana, pak tua” ujar penjaga pos saat si lelaki tua mengembalikan kandar kilasnya.

“Sudah kubilang, aku mencari seseorang.”

“Perempuan?”

“Bukan urusanmu.”

“Di barat cuma ada lebih banyak kehancuran. Dengan perbekalanmu, kau bisa mencapai kota-kota di timur. Mereka relatif jauh dari bekas peperangan.”

“Orang yang aku cari ada di Bandung.”

“Kau menghayal, pak tua. Bandung sudah tidak ada. Bandung sudah musnah. Di sana sekarang hanya ada kamp-kamp milisi.”

“Mungkin di peta satelitmu kota itu sudah tidak ada. Tapi peta cuma masalah geografi. Bandung bagiku melibatkan perasaan. Kota itu bersamaku di kala sunyi,” jawab si lelaki tua.

“Aku suka gayamu, pak tua. Jika ada keajaiban dan kau selamat dari petualanganmu di sana, pos barter ini akan selalu menyambut dengan tangan terbuka.”

Si lelaki tua mengangguk, memberi isyarat terima kasih.

§

Matahari setengah tenggelam di cakrawala. Lelaki tua itu mengangkat syal merahnya menutupi wajah. Tangannya yang kokoh memutar setang akselerasi. Mesin menderu keras. Ia menghela nafas panjang. Matanya menatap ke saujana. Apapun yang ada di depan, entah itu kurnia atau petaka, si lelaki tua paham bahwa itu akan menjadi bab terakhir dalam hidupnya.

Gerbang luar kamp telah tertutup rapat di belakangnya. Ia mengeluarkan selembar foto dari balik saku jaket denimnya. Selembar foto lusuh termakan waktu yang berisi citra seorang remaja perempuan berambut panjang. Selembar foto dari suatu zaman yang tak mungkin dapat terulang.

Dalam hati lelaki tua itu berkata, aku masih memikul rindu yang berat ini, Milea.

Sepeda motor tua itu menderu, menyemburkan jejak debu. Membawa si lelaki tua menghilang menuju senja.

 

§§§

 

Adendum

Terima kasih kepada Yoga Nandiwardhana & Ario Tamat sebagai pendukung fanfic ini!

Foto oleh Johannes Plenio di Unsplash

[Dukung Karim Nas di KaryaKarsa]

Satu respons untuk “Batas

Tinggalkan Balasan ke kanghelmi Batalkan balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.