Lotere

Kilatan ratusan lampu mengaburkan pandangannya. Riuh rendah para penonton membuat kepalanya semakin pening. Sebagian bersorak-sorai, mengharapkan limpahan harta mendadak. Yang lain berteriak meminta sang algojo segera memutar Roda Nasib.

Ini hari yang istimewa. Ribuan orang rela mengantri berhari-hari untuk menyaksikan langsung. Dan kini mereka telah memenuhi arena tempat berlangsungnya acara utama. Sementara di luar arena, jutaan orang bersiap-siap di depan layar. Bahkan berjam-jam sebelum acara dimulai. Di rumah-rumah, di taman-taman, di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di kuil, mesjid, dan gereja. Jalanan menjadi lenggang. Beberapa orang yang masih ada di jalan matanya menatap lekat layar gawai masing-masing atau pada layar-layar raksasa yang tersebar di berbagai penjuru kota. Mereka tak sabar ingin melihat bintang utama hari ini. Seorang pesohor akan menghadapi takdirnya.

Sang pesakitan, bintang utama hari ini, masih terdiam. Bukannya dia ada pilihan, seluruh kaki dan tangannya terikat erat. Dia hanya terkulai lemah, bersandar pada kursi, di atas panggung di tengah arena, disorot ratusan kamera. Kepalanya tertunduk. Tepat di belakangnya, sang roda nasib berdiri kukuh dan sombong, siap menguak nasib mereka yang cukup sial hingga harus berakhir di sini.

“Putar! Putar! Putar!” suara para penonton bergema memenuhi arena. Sang pembawa acara mondar-mandir di depan panggung, menyemangati penonton. Di bagian kiri dan kanan panggung utama, dua buah layar besar menunjukkan jumlah uang yang akan dihadiahkan pada pemenang utama. Angka fantastis yang belum pernah muncul di lima tahun sejarah berlangsungnya Lotere. Angka yang dapat membuat siapapun penerimanya hidup mewah berlimpah ruah seumur hidup. Bahkan mungkin hingga akhir zaman. Penonton semakin menggila.

§

Dua bulan sebelumnya.

Hendrik Yudhosasmito membuka pintu mobil yang terparkir di pelataran rumahnya yang luas. Sebuah tas kulit berisi beberapa dokumen disimpan di kursi penumpang, sebelum ia kembali menutup pintu. Wangi rerumputan yang baru dipangkas bercampur dengan eau de cologne saat laki-laki berusia empat puluhan itu melintas. Seorang tukang kebun menyapanya selamat pagi. Hendrik hanya melenggang acuh, terus berjalan ke arah meja yang tak jauh dari air mancur di tengah taman. Seorang pelayan baru selesai menghidangkan sarapan. Ia membungkuk saat melihat tuannya datang, lalu berjalan mundur kembali ke dapur.

“Kamu sepertinya terburu-buru,” ujar istrinya yang sedang menikmati secangkir kopi.
“Ya, tiba-tiba 1 jam lalu sekretaris kantor investor menelepon. Mereka ingin adakan pertemuan segera pagi ini, sebelum mereka berangkat ke Geneva.”
“Kamu kan sudah janji akan mengantar anakmu ke sekolah hari ini,” ujar perempuan itu lagi, datar.
“Biar dengan supir saja. Nanti malam aku akan belikan hadiah biar ia tidak marah,” jawabnya sambil menghabiskan sisa sereal di mangkoknya.
“Terserah,” jawab si perempuan pendek.

Hendrik menghabiskan minumannya dan segera bergegas berjalan ke mobil. Di kejauhan, di balik pagar tinggi yang mengelilingi rumahnya, ia melihat sesosok wanita tua. Rambutnya semrawut, wajahnya kotor, pakaiannya lusuh dan acak-acakan. Wanita itu menatap tajam ke arahnya.

Sial, mau apa orang gila itu kembali ke sini, umpat Hendrik dalam hati. Ia berjalan cepat ke mobilnya, mencoba untuk tidak memedulikan si orang di balik pagar. Kalau bukan karena terburu-buru, Hendrik tentu akan segera memanggil dan menghukum para petugas keamanan di rumahnya. Ia sudah mewanti-wanti agar mereka segera mengusir wanita tua tersebut bila ia tertangkap oleh kamera pengawas yang tepasang di seluruh sudut-sudut rumah.

Mobilnya berhenti sejenak, menunggu gerbang terbuka sepenuhnya. Tiba-tiba si wanita tua itu telah berdiri di depan mobil. Menghalangi jalur. Hampir satu menit hanya terpaku menatap ke arah Hendrik.

“Selamat pagi, tuan pengacara,” ujar wanita itu.
“Minggir kau, perempuan keparat!” hardik Hendrik sambil membunyikan klakson berulang kali.

Wanita tua itu meludah. Ludahnya jatuh di kaca depan mobil, tepat di depan Hendrik.

Sundal, Hendrik mengumpat pelan.

“Minggir! Kalau tidak aku akan menabrakmu! Kau mau segera menyusul anakmu, nenek sialan?”
“Kau ingin membunuhku, tuan pengacara?” balas wanita itu dingin.

Hendrik menatap ke arah arloji di lengannya. Ia sudah terlambat. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Jalanan komplek yang lebar itu lenggang, tak ada kendaraan terlihat di kedua arah. Rumah-rumah tetangganya yang jaraknya saling berjauhan juga tidak memperlihatkan tanda-tanda ada orang. Diinjaknya pedal gas sambil membanting setir ke arah kiri.

“Aku akan mengirimmu ke neraka, perempuan celaka!”

Hantaman sisi mobil melemparkan wanita tua itu ke aspal. Tidak ada seorang pun yang menyaksikan. Si wanita tua tergolek lemas di tengah jalan sementara mobil mewah Hendrik berderu kencang meninggalkan lokasi.

§

Hendrik setengah berlari di lobi gedung milik para penanam modal. Di kejauhan pintu lift tampak mulai menutup. Ia mempercepat langkahnya, setengah berlari, dan berhasil masuk ke dalam di detik terakhir.

“Bro, dari mana saja? Kami menunggumu hampir setengah jam di lobi,” seorang pria dengan setelan jas hitam bertanya padanya di dalam lift.
“Sori, ada sedikit masalah saat aku mau berangkat. Si tua keparat itu muncul lagi di depan rumahku,” jawabnya.
“Perempuan tua gila ibu si pemerkosa di Lotere bulan lalu?”
“Siapa lagi,” jawabnya ketus.
“Bukannya kau sudah melaporkan dia ke polisi?”
“Ya, beberapa minggu lalu. Para bedebah itu hanya sigap bertindak saat kita memberi insentif. Kau tahu sendiri kan,” ujar Hendrik, semakin kesal.
“Itu sebabnya kau sekarang rajin ke lapangan tembak? Jaga-jaga bila kau harus menembak bedebah tua itu?” tanya rekan wanitanya sambil tertawa.
“Ya. Kurasa ia sama gila dengan anaknya. Kalau tidak, mana mungkin seorang ibu membesarkan orang yang memperkosa belasan perempuan dan membunuh korban terakhirnya,” jawab Hendrik.

“Bagaimana kabar si pemerkosa itu?” tanya seorang kolega yang berdiri di sudut lift. Rekan-rekannya menatapnya dengan pandangan aneh. Apa pentingnya kabar terdakwa, pikir rekan-rekannya yang lain. “Hey, aku cuma penasaran,” tambahnya.
“Dia menjadi bahan uji coba toksitas berbagai senyawa pestisida. Kudengar ia sekarang lumpuh dari leher ke bawah serta mengalami kemunduran penglihatan progresif. Beberapa minggu lagi bajingan lumpuh itu akan buta total.”

Lift berhenti di lantai empat puluh lima. Seorang perempuan muda menyambut mereka. Hendrik dan para koleganya berjalan cepat, mengikuti sang sekretaris berjalan ke arah sebuah pintu besar di ujung lorong. Di balik pintu, di sebuah ruangan pertemuan luas yang dikelilingi oleh dinding-dinding kaca, beberapa orang telah menunggu. Para penanam modal. Pemilik perusahan yang dipimpin oleh Hendrik.

Lotere Inkorporasi berdiri di tahun 2023, hasil patungan dana serta ide dari Genedyne dan MCN. Genedyne adalah perusahaan multinasional di bidang kesehatan dengan pemasukan tahunan lebih besar bahkan dibanding beberapa negara maju. Mereka menjadi kaya raya dari obat-obatan, terapi gen, penyimpanan data pada materi biologis, dan rekayasa genetik. Sementara MCN adalah konglomerasi media terbesar di kawasan Asia Pasifik. Mereka menguasai stasiun televisi dan situs-situs berita utama di kawasan.

Beberapa tahun sebelum kelahiran Lotere (begitu masyarakat biasa menyebutnya), di tahun-tahun akhir dasawarsa kedua abad 21, perkembangan teknologi kesehatan semakin mengarah ke penelitian genetik. Laboratorium-laboratorium di seluruh dunia membutuhkan semakin banyak materi uji coba in vivo. Para aktivis internet dengan kekuatan jemarinya mampu menggiring konsumen untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang masih menggunakan hewan sebagai materi uji coba laboratorium. Kebutuhan akan organisme hidup meningkat bersamaan dengan stok yang terus berkurang.

Sementara itu, masyarakat dihantui oleh meningkatnya ancaman kriminalitas. Internet dengan gesit menyebarkan berita-berita kejahatan. Portal-portal dan stasiun-stasiun televisi MCN terus menerus menyebarkan berita menakutkan. Berita-berita yang semakin meningkat dalam skala kekejaman. Semakin brutal isi sebuah berita, semakin tinggi peringkatnya di lembaga-lembaga survey. Tak ayal para pelaku kejahatan menyita perhatian utama masyarakat. Imbasnya, orang-orang mendayagunakan media sosial sebagai sarana untuk terus menerus menekan pemerintah agar memberikan hukuman yang semakin berat. Masyarakat pun lama-kelamaan beranggapan bahwa hukuman penjara hanya membuang-buang uang negara. Terutama bagi para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan.

Lalu pada tahun 2022, sejarah mencatat sebuah gerakan di masyarakat yang dimulai seorang influencer media sosial sebagai pembuka jalan bagi lahirnya Lotere. Gerakan ini bertujuan untuk melegalkan peruntukan para penjahat sebagai organisme uji coba laboratorium. Desas-desus berhembus bahwasanya sang tokoh daring dibayar oleh MCN. Tetapi para pengikutnya menangkis tuduhan tersebut dengan menyebutkan bahwa perilaku kriminal yang semakin brutal mendorong lahirnya gerakan mereka.

Mengenai para pemerkosa, para pentolan gerakan mencoba menjelaskan bahwa hukuman kastrasi kimia yang telah dijalankan pemerintah sama sekali tidak efektif. Tidak memberikan efek jera yang dibutuhkan. Di lain pihak, penjara terus dipenuhi para pembunuh kejam. Para aktivis ini lagi-lagi berargumen, menjelaskan bahwa penjara adalah sebuah sistem mahal yang hanya menghabiskan uang negara. Uang yang didapat dari iuran pajak mereka, para warga negara yang taat hukum.

Maka lahirlah Lotere, sebuah reality show paling populer sepanjang sejarah penyiaran hiburan. Bintang utamanya, para terdakwa. Para pembunuh, pemerkosa, penculik; intinya, sampah masyarakat. Setiap bulan akan dipilih satu orang terdakwa yang nantinya dibawa ke arena utama. Menghadapi Roda Nasib, sebuah roda raksasa yang pada dua belas bagiannya tertulis dua belas macam uji coba laboratorium. Setiap awal bulan pula kedua belas “nasib” ini akan diumumkan ke masyarakat. Mulai dari yang paling ringan seperti uji coba toksisitas senyawa-senyawa baru, hingga ke uji coba mutasi gen, sampai ke tes radiasi senyawa radioaktif.

Salah satu pilihan terpopuler di antara para pemirsa setia Lotere tentu saja adalah uji coba virus. Terdakwa akan diinjeksi dengan vaksin eksperimental, lalu ia akan dimasukkan ke dalam ruangan isolasi transparan. Melalui kamera-kamera yang menyiarkan proses hukuman ke seluruh dunia secara langsung, para penonton dapat menyaksikan saat berbagai  galur virus seperti Hantavirus atau Ebola disemprotkan ke dalam ruangan.

Para terdakwa ini adalah hewan-hewan percobaan masa kini. Para bintang jenis hiburan terbaru yang menggabungkan hukuman dan kapitalisme. Mereka bagai para terdakwa di koloseum-koloseum Romawi dua ribu tahun lalu. Tetapi bila dahulu yang dihadapi para terhukum adalah singa-singa lapar, maka kini maut mikroskopis lah yang siap merobek daging mereka dari dalam.

Masyarakat pun berbondong-bondong ikut serta di perhelatan akbar ini. Setiap awal bulan loket Lotere dipadati oleh orang-orang yang hendak bertaruh. Mereka mencoba peruntungan dengan menebak jenis nasib yang akan menimpa para pesakitan. Tak hanya itu, orang-orang juga dapat bertaruh siapa terdakwa yang akan mendapat kursi utama di bawah Roda Nasib. Masyarakat dapat melihat riwaya para terdakwa, catatan kejahatannya, serta riwayat para korban (identitas asli disamarkan). Berdasarkan suara terbanyak dan proses eliminasi, setiap minggu terpilih kandidat yang akan menuju acara utama. Hadiah utama Lotere, yang sebagian disubsidi Genedyne dan MCN, akan diberikan pada orang yang berhasil menebak nama terdakwa sekaligus nasib yang menimpanya. Tertawa di atas penderitaan orang lain hanyalah sebuah ungkapan tak berarti bagi hedonisme jenis baru ini. Schadenfreude ekstrim.

§

Sekitar pukul 8 malam, Hendrik Yudhosasmito, CEO Lotere Inkorporasi tiba di rumahnya. Sebuah bangunan bergaya art deco, dikelilingi taman yang luas, dengan sebuah kolam renang di bagian belakang. Hendrik dan keluarga mudanya tinggal di bagian kota yang jauh dari keramaian, sebuah wilayah suburban beberapa belas menit dari pusat kota, habitat para pesohor, crème de la crème megapolitan.

Ia memarkirkan mobilnya di pelataran tak jauh dari pintu utama. Tak seperti biasanya, lampu-lampu di bagian dalam rumah dalam keadaan padam. Hendrik menutup pintu mobilnya perlahan. Ia melihat sesuatu yang janggal, pintu utama rumah sedikit terbuka.

Hendrik berjalan pelan, mencoba untuk tidak membuat suara. Ia telah bekerja sebagai pengacara selama dua puluh tahun, membela banyak orang dan tidak semuanya orang baik-baik. Kewaspadaan sudah menjadi bagian dari dirinya. Hendrik mengeluarkan sebuah pistol kecil dari balik jas.

Pintu kayu besar itu berderik pelan saat Hendrik mendorongnya terbuka. Dalam kegelapan lengannya berusaha menggapai saklar pintu. Matanya pun terbelalak saat lampu ruang utama menyala. Anak dan istrinya terkulai lemas di sofa. Hendrik tidak dapat memastikan apakah mereka cuma pingsan atau sudah mati. Tetapi rasa cemasnya segera berubah menjadi kemarahan membara saat ia melihat wanita tua itu berdiri tak jauh dari keluarganya di bagian belakang ruang utama.

“Selamat malam, tuan pengacara,” sambutnya.
“Menjauh dari mereka, bajingan!” Hendrik menghardik. Pistolnya mengacung terarah ke dada si wanita tua.
“Kau merenggut anakku, sekarang aku akan mengambil keluargamu. Rasanya cukup pantas.”
“Keparat! Keluargaku tidak ada sangkut pautnya. Sementara anakmu pantas mendapatkannya. Dia seorang pemerkosa, pembunuh!”
“Diam!” wanita tua itu mulai hilang kesabaran. Tak gentar sedikit pun di hadapan moncong senjata. “Kau yang membuat anakku harus hidup dalam kelumpuhan, dalam kebutaan. Menjadi makhluk tanpa daya di sisa umurnya. Sementara kau menjadi kaya di atas penderitaannya.”

Wanita tua itu bergerak terpincang-pincang mendekati sofa.

“Berhenti! Kalau kau masih ingin hidup!”
“Hahaha… ingin hidup? Hidupku tak ada artinya, tuan. Kau ambil sekarang pun tidak ada bedanya. Sementara hidup anak dan istrimu…,” wanita itu memasukkan tangan ke balik mantelnya, merogoh sesuatu.

Sebuah letusan memecah keheningan. Wanita tua itu roboh di ruang utama kediaman Hendrik Yudhosasmito, tepat di depan anak & istrinya yang masih terkulai di sofa. Bercak merah darah membasahi putih karpet dan sofa.

Tembakan pertama menembus paru-paru kirinya. Ia terbatuk, darah segar meluncur deras dari mulut. Dengan sisa tenaga dan seutas nyawa ia mencoba merangkak ke arah keluarga sang pengacara. Tangannya masih mencoba mengeluarkan sesuatu dari balik mantel.

Dan kembali sebuah letusan menyalak mengoyak malam. Kali ini tepat di tengkuk wanita tua yang malang itu. Membunuhnya dalam sesaat.

Hendrik membalikkan tubuh wanita itu, mencoba untuk memastikan bahwa ia telah tak bernyawa. Bahwa ia sudah tidak menjadi ancaman. Hendrik ingin tahu senjata yang disembunyikannya di balik mantel.

Saat tubuh itu terbalik, lengan tak bernyawanya terkulai. Di tangannya, alih-alih sebuah senjata, tergenggam sebuah kertas. Walaupun sebagian besar kertas itu telah terlumuri darah, Hendrik masih dapat mengenalinya. Sebuah tiket Lotere. Dan yang membuat darahnya berdesir, pada tiket itu terdapat sebaris tulisan: “Selamat, tuan pengacara. Anda sekarang seorang pembunuh.

§

Dua bulan kemudian.

Proses persidangan berlangsung cepat. Pembelaannya yang didasarkan pada alasan bela diri tak diterima juri. Menurut hakim, ia dan keluarganya tak pernah ada dalam bahaya. Korban pun sama sekali tidak memiliki catatan kejahatan. Hidupnya bersih, seorang tokoh masyarakat yang disegani. Penuntut mengajukan bukti rekaman video yang memperlihatkan ancaman pembunuhan yang dilontarkan sang pengacara pada korbannya, serta saat Hendrik dengan sengaja menabraknya. Dan sebagai penutup dakwaan, hasil visum yang tanpa keraguan memperlihatkan tembakan berdarah dingin di tengkuk korban. Statusnya disegel dengan ketokan palu, ia resmi seorang pembunuh.

Masyarakat yang kecanduan kekejaman menggila saat mereka mengetahui bahwa pemimpin Lotere sendiri yang akan maju menghadapi Roda Nasib. Sang tokoh media sosial yang tagarnya memulai gerakan uji coba pada para terpidana. Segera ribuan orang terlibat perang kata-kata di internet. Pro dan kontra berlanjut selama berhari-hari.

Sementara itu penjualan tiket mencapai rekor tertinggi. Peringkat acara televisi dan situs berita terkait acara Lotere meroket. Masyarakat sudah mencium bau darah segar. Mereka tak akan berhenti hingga sang korban tercabik-cabik di depan kamera.

Di antara kilatan cahaya dan riuh rendah pengunjung arena, Hendrik mencoba menghadapi takdirnya. Ditatapnya orang-orang yang ada pinggir panggung utama. Di sana ia melihat para petinggi Genedyne dan MCN, para atasannya, para pemilik acara hiburan terbesar di dunia. Tak jauh dari situ ia dapat melihat rekan-rekannya di Lotere Inkorporasi. Wajah mereka dingin tanpa ekspresi.

Pandangan Hendrik berputar. Suara-suara bising itu bagai menghujam langsung ke dada. Orang-orang terus berteriak, “Putar! Putar!”. Sementara yang lain berteriak “Virus! Virus! Virus!”.

Pembawa acara kini berdiri di tengah panggung, tepat di hadapannya. Hendrik telah melihat prosesi ini puluhan kali selama bertahun-tahun ia memimpin Lotere. Langsung dari depan panggung, di kursi kehormatan. Biasanya ditemani segelas Chianti dan cerutu Kuba. Bersenda gurau bersama para petinggi dan pemilik Lotere, membahas nasib yang akan menimpa bintang utama mereka.

Tetapi kini ia ada di posisi terbalik. Sekarang ia lah sang bintang utama. Pesakitan yang sebentar lagi dalam penderitaannya akan menjadi hiburan bagi orang banyak. Yang nyawa dan nasibnya akan menjadi bahan tawa canda jutaan orang. Hendrik Yudhosasmito hapal prosedur Lotere di luar kepala. Ia tahu persis ini saatnya bagi sang pembawa acara untuk memanggil algojo sang pemutar roda, Roda Nasib yang akan menghapus keberadaannya dari muka semesta. Di antara riuh rendah itu ia dapat mendengar wanita tua yang ia lubangi batang otaknya…

Selamat datang di neraka

 

[Dukung Karim Nas di KaryaKarsa]

Foto oleh William Fitzgibbon di Unsplash

Tinggalkan pesan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.