Stasiun Angkasa Hawking, 14 Juni 2078
“Kolonel, bagaimana situasi kokpit?”
“Semuanya lancar, Guiana. Kita siap untuk meluncur.”
“Bagus, Kolonel. Kami akan terus memonitor hingga urutan peluncuran utama.”
Sudah satu minggu aku di sini. Lambaian tangan Leyla masih membekas di benak. ‘Ayah, bawakan aku bintang ya,’ ucap gadis kecilku saat itu. Senyumannya mampu menghapus keraguan, bersamaan dengan merekahnya kerinduan.
Beberapa saat lagi persiapan untuk keberangkatanku akan berakhir. Pengisian bahan bakar telah selesai. Konfigurasi warp drive telah ditetapkan. Tidak ada lagi waktu untuk turun kembali ke Bumi.
Dari balik jendela kabin dapat kulihat planet biru yang mengagumkan itu. Perjalanan ini adalah kulminasi segala keindahan, segala kejayaan, kepedihan, kesedihan, dan kecerdasan yang menyelimuti sejarahnya. Sebentar lagi kami akan kembali menorehkan sejarah. Perjalanan antar bintangnya yang pertama.
“Telemetri lancar. Sistem hibernasi lancar. Mesin utama lancar. Sistem sekunder lancar. Anggota kru yang lain sudah memasuki tahap awal hibernasi.”
“Diterima, Kolonel. Arus data 100%.”
“Roger, Guiana.”
Semenjak ditemukannya artefak Mare Nectaris lima belas tahun lalu, seluruh tatanan kehidupan manusia berubah. Sejak manusia menyadari bahwa kami memiliki saudara di langit, segala perbedaan terkikis satu per satu. Sebuah usaha kolektif tercipta, di atas premis yang tersamarkan selama keberadaannya. Manusia adalah satu.
Bangsa-bangsa meletakkan senjata. Tersadar oleh lelah akan kehancuran yang berkepanjangan. Oleh lelah dalam keputusasaan akan planet yang sekarat. Tetapi mungkin juga karena harapan besar yang kini membuncah di dada ras manusia. Secercah harapan yang tiba menjelang fajar abad 22.
Pesan itu terpatri selama puluhan ribu tahun. Dalam dingin, sunyi, dan gelapnya Luna. Tertulis dalam aksara biner, efeknya melebihi skriptur-skriptur suci berusia ribuan tahun. Singkat namun mampu menembus jiwa-jiwa di batu ketiga dari matahari: bila kalian telah siap, temui kami di Sirius.
“Memindahkan otoritas kendali ke sistem AI. ECHO, tolong laporan akhir kondisi menyeluruh.”
“Seluruh sistem siap, Kolonel,” jawab intelegensia buatan pendamping misi.
“Tolong ulangi urutan pemulihan pasca-hibernasi, ECHO.”
“Pemimpin misi, tim medis, tim intai, tim sains.”
“Setuju.”
Kini aku harus meninggalkan rumah spesiesku. Meninggalkan bangsa, kolega, keluarga. Meninggalkan Maya istriku, dan Leyla gadis kecilku. Harapan, impian, dan masa depan seluruh planet bersanding di pundakku. Aku masih ingat pantulan cinta dan rasa bangga di mata Maya saat itu. Saat aku melihatnya terakhir kali di stasiun keberangkatan Omega.
“Guiana, memasuki kamar hibernasi. Urutan otopilot waypoint utama telah dinyalakan. Kendali diambil alih oleh ECHO. Menutup komunikasi.”
“Baik, diterima. Satu lagi, Kolonel…”
“Ya?”
“Semoga berhasil.”
Dan di sini lah aku berada, Alcubierre Dogon, wahana angkasa yang akan membawaku ke Sirius. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku temui di sana. Hanya doa milyaran jiwa menerangi jalan ini. Kelangsungan hidup planet yang kutinggalkan bergantung pada pertemuan pertamaku dengan mereka. Para entitas yang menulis pesan di Mare Nectaris. Aku sungguh tidak ingin memikirkan beban itu saat ini. Tak ada tempat untuk menjadi terlalu emosional.
Aku memasuki kamar hibernasi. Bersiap untuk tidur dalam dingin selama empat bulan. Menempuh 8.6 tahun cahaya dalam keadaan selapis tipis dari kematian. Saat aku melangkah masuk ke dalam tabung, hanya satu hal yang melintas dalam benak.
Akan kubawakan bintang untukmu, Leyla.
Adendum